jump to navigation

Memanusiakan Robot dan Merobotkan Manusia January 12, 2010

Posted by Admin in Self Reflection.
Tags: ,
add a comment

Di negeri-negeri maju sana para ilmuwannya tengah sibuk memanusiakan robot, bagaimana supaya robot bisa semirip mungkin manusia yang sebisa mungkin mengidentifikasikan segala sesuatu. Bisa berpikir, mengenali orang senang, susah, sedih, dan bisa berinteraksi dengan manusia. Ironisnya di negeri kita yang tercinta ini, yang terjadi malah Merobotkan Manusia. Dan yang lebih menyedihkan lagi ini tidak terjadi di daerah antah berantah, atau di organisasi abal-abal, tapi di Jakarta di organisasi yang katanya salah satu Universitas terbaik di Indonesia, yang katanya sedang menuju World Class University.

Cerita ini berawal kemarin sore ketika saya dan Budi keluar dari FE menuju stasiun UI, untuk kemudian meneruskan perjalanan dengan KRL ke Salemba. Dari FE ke stasiun kita biasanya jalan, iseng-iseng kita mau nyobain sepeda UI yang warna kuning itu. Masalahnya untuk pinjam sepeda kuning itu harus punya KTM atau tanda pengenal mahasiswa lainnya seperti kartu perpus. Saya ga punya tapi Budi punya.

Jadilah kita nyoba-nyoba pinjem, Budi nunjukin KTM sementara saya ga bawa apa-apa. Yah seperti yang sudah saya perkirakan sebelumnya saya ga boleh minjam sepeda. Masnya bilang “sekarang aturannya ketat mas harus pake KTM atau kertu perpus ada ga mas?”. Jadi that’s it, saya ga bisa make sepeda UI karena saya ga bisa nunjukin KTM atau kartu perpus. Padahal saya mahasiswa, saya ngajar di sini, ada surat tugas, ga tahu tuh kalo surat tugas ngajar dikasih lihat boleh ga tuh sama masnya.

Jadilah kita berdua ga jadi pinjam, ga mungkinlah Budi naik sepeda saya jalan sendiri. Dan Budi pun cerita kalo dia pernah nyoba minjam dengan nunjukin kartu nama yang dari departemen yang ada tulisannya Staf Pengajar, tapi sama saja TIDAK BOLEH karena tidak punya KTM atau kartu perpus, so???.

Sungguh disayangkan di tengah komunitas yang katanya terpelajar hal seperti ini bisa terjadi. Kalo misalnya kita berdua datang dari tengah hutan, pake baju amburadul, ga bisa nunjukin KTM terus ditolak itu wajar. Tapi ini jelas-jelas kita keluar dari FE, jelas-jelas si Budi bisa nunjukin KTM, jelas-jelas temannya, manusia mana yang akan menyangka saya bukan mahasiswa atau bukan warga UI. Jadi jelas sekali saya ga boleh minjem karena ga punya KTM, karena saya yakin-seyakin yakinnya bahwa mas-mas itu tahu kalo saya mahasiswa saya warga UI. Sungguh sebuah sistem yang MEROBOTKAN MANUSIA.

Sungguh nilai kemanusiaan sudah tidak dihargai, kejujuran ditinggalkan, apalagi sumpah sudah tidak dipedulikan. Semua itu ternyata lebih murah dari sebuah KTM atau kartu perpus. Dan sekali lagi itu terjadi di kampus kita tercinta yang katanya salah satu Universitas terbaik di Indonesia, yang katanya sedang menuju World Class University……..

*ditulis oleh anak bangsa yang jenuh melihat keterpurukan ibu pertiwinya.

KRL Hati January 4, 2010

Posted by Admin in Self Reflection.
Tags: , , ,
add a comment

Sudah sekian lama saya menjadi penggemar setia KRL. Kemanapun selama bisa ditempuh dengan KRL, hampir pasti saya pilih KRL. Hanya belakangan ini saya lebih sering pake motor dikarenakan jadwal KRL yang lagi ga ontime.

Ada satu yang saya suka saat menggunakan KRL, tanpa terasa KRL telah mengingatkan saya akan buuuaaanyakkknya nikmat yang telah Allah karuniakan kepada hamba-Nya yang lemah ini. Dan betapa hamba yang bodoh ini begitu kurang bersyukur atas berjuta-juta nikmat tersebut yang andai seluruh laut dijadikan tinta untuk menuliskannya niscaya air laut tersebut akan habis sebelum semua nikmat yang diberikan-Nya ditulis.

Pagi itu, hari kamis 16 Juli 2009, sekitar jam 8 lebih saya sudah menginjakkan kaki di stasiun, semoga bisa dapat KRL tujuan Jakarta keberangkatan Depok biar ga terlalu penuh. Puluhan orang sudah berjajar di sepanjang stasiun menunggu datangnya KRL yang akan membawanya ke tempat kerja, demi mencari sesuap nasi, dan kalau beruntung bisa buat nyicil rumah, motor, atau mobil. Tentu para pekerja kantoran ini berpakaian rapi, seperti halnya saya yang akan menghadiri rapat di salah satu sudut Sudirman.

Baru beberapa langkah setelah menginjakkan kaki di peron, jantung ini serasa berhenti berdetak, hati serasa lepas dari badan, jatuh, dan langsung masuk menembus bumi yang saya pijak. Di tengah keramaian orang berpakaian rapi dengan pandangan bersinar terang menapak masa depan yang cerah terbentang, dua sosok bocah terlihat menusuk pandangan.

Kedua bocah tersebut terlihat sama-sama tidak terurus, kulit, wajah, baju semua terlihat kotor dan kusam. Kira-kira keduanya seusia anak kelas 4 atau 5 SD. Si bocah pertama sedang tertidur dengan pulas. Meringkuk di atas lantai stasiun berpaving yang kasar, keras, dingin pula. Dia meringkuk di pinggir menghadap pagar, membelakangi orang-orang kantoran yang menunggu KRL. Seolah tidak ingin wajahnya yang kusam dan kotor mengganggu penglihatan orang-orang elit dibelakangnya.

Bocah kedua sepertinya temannya, sedang berdiri di dekat kepala si bocah yang tertidur tadi. Dia hanya berdiri berpegang pada jeruji pagar stasiun, sambil memandangi lalu lalang di depannya. Tatapan matanya kosong, seolah memandang keajaiban di depannya yang seolah tak mungkin dia raih. Jangankan untuk menjadi seperti mereka, untuk makan nanti siang pun dia tidak tahu dari mana.

Setelah beberapa saat, si bocah kedua merebahkan badannya, menyusul temannya terlelap di alam mimpi, berharap semoga keajaiban di depannya bisa dia rasakan, walau di alam mimpi. Secarik kain dia atur sekenanya di bawah kepalanya, sekedar mengurangi kerasnya lantai stasiun, sambil melupakan kerasnya hidup yang harus mereka hadapi.

Dan akhirnya mereka berdua tertidur, sama seperti tidurnya anak-anak lainnya. Hanya saja mereka di lantai stasiun nan keras dan dingin, sementara anak-anak lainnya di kamar nan empuk dan hangat. Hanya saja mereka di temani nyamuk yang berdengung, sementara anak-anak lainnya ditemani orang tuanya yang berdendang. Hanya saja mereka dinaungi langit nan luas, sementara anak-anak lainnya dinaungi atap plus selimut nan nyaman.

Betapa hamba ini kurang bersyukur, ya Allah, sungguh nikmat yang telah Engkau berikan takkan pernah bisa kuhitung, tapi hamba-Mu yang bodoh ini bisanya hanya meminta dan meminta tanpa bisa mensyukuri yang ada. Maafkanlah hamba-Mu ini ya Allah dan jadikan hamba-Mu ini hamba yang pandai bersyukur.

Toyota Crown Rp1.3 M? MAU? January 4, 2010

Posted by Admin in Self Reflection.
Tags: , , ,
add a comment

Mohon maaf nih udah lama ga nulis. Maklumlah disibukkan sama warung Steak Bebek yang baru buka dan si junior ketiga yang baru lahir. Tapi setelah membaca beberapa berita di detiknews.com dan comment-commentnya saya sempatkan juga untuk menulis uneg-uneg saya ini.

Masalah pembelian mobil dinas Toyota Crown 1.3 M memang luar biasa. Ditengah kemiskinan yang masih melanda negeri ini pemerintah tega-teganya mengucurkan dana yang sedemikian besar untuk fasilitas mereka dari uang rakyat. Padahal kalau nilai 1.3 M yang akan dipakai selama 5 tahun itu dialihkan untuk rakyat miskin bisa menghidupi 43.33 rakyat miskin (asumsi Rp500rb per bulan) itu baru hitungan pukul rata. Apalagi dengan teori keuangan kalau uang itu dimudharabahkan ke bank syariah dengan nisbah yang memberi keuntungan 6% setahun (analisis ini penting loh biar ga rugi kuliah keuangan he…) maka jumlah rakyat miskin yang bisa dihidupi menjadi 50.27 orang.

Tapi bukan ini yang menjadi fokus tulisan ini, saya lebih ingin menyoroti mengapa hal ini bisa terjadi. Saya termasuk orang yang yakin bahwa pimpinan dalam hal ini pemerintah merupakan cerminan dari rakyatnya. Kalau sampai pemerintah bisa berperilaku seperti itu patut dipertanyakan bagaimana kelakuan rakyatnya. Jadi daripada rakyat-rakyat itu kebanyakan comment di detiknews.com sebaiknya mereka mulai mengoreksi diri apa yang telah mereka lakukan sehingga pemerintah mereka seperti itu. Apa yang bisa mereka perbaiki bagi diri mereka sendiri sehingga pada akhirnya pemerintah mereka ikut berbaik diri.

Bisa kita lihat berapa banyak rakyat yang kalau makan menggunakan uang sendiri berhemat-hemat seadanya tapi begitu ada kesempatan menggunakan uang kantor baik untuk rapat atau acara lainnya langsung bermewah-mewah. Begitu juga acara jalan-jalan begitu menggunakan uang kantor langsung ke sini ke situ beli ini beli itu. Fasilitas juga mintanya yang wah kalau itu pake uang yang bukan miliknya.

Mungkin rakyat yang kerja di swasta akan berargumen ini kan uang bukan punya rakyat, punya perusahaan yang saya kerja keras di sana. Anda benar tapi itu juga bukan uang anda, dan kalau anda merasa karena bekerja keras anda pantas bermewah-mewah dengan uang kantor maka jadi boleh dong pemerintah beralasan mereka sudah bekerja keras. Masalahnya bukan uang rakyat atau bukan tapi masalahnya adalah mental menggunakan uang kita sendiri dan uang yang bukan milik kita sendiri baik uang rakyat maupun uang perusahaan.

Jadi dari pada sibuk mengontrol pemerintah lebih baik kita sibuk mengontrol diri kita masing-masing. Rakyatnya baik insyaallah pemerintahnya ikut baik.