jump to navigation

KRL Hati January 4, 2010

Posted by Admin in Self Reflection.
Tags: , , ,
add a comment

Sudah sekian lama saya menjadi penggemar setia KRL. Kemanapun selama bisa ditempuh dengan KRL, hampir pasti saya pilih KRL. Hanya belakangan ini saya lebih sering pake motor dikarenakan jadwal KRL yang lagi ga ontime.

Ada satu yang saya suka saat menggunakan KRL, tanpa terasa KRL telah mengingatkan saya akan buuuaaanyakkknya nikmat yang telah Allah karuniakan kepada hamba-Nya yang lemah ini. Dan betapa hamba yang bodoh ini begitu kurang bersyukur atas berjuta-juta nikmat tersebut yang andai seluruh laut dijadikan tinta untuk menuliskannya niscaya air laut tersebut akan habis sebelum semua nikmat yang diberikan-Nya ditulis.

Pagi itu, hari kamis 16 Juli 2009, sekitar jam 8 lebih saya sudah menginjakkan kaki di stasiun, semoga bisa dapat KRL tujuan Jakarta keberangkatan Depok biar ga terlalu penuh. Puluhan orang sudah berjajar di sepanjang stasiun menunggu datangnya KRL yang akan membawanya ke tempat kerja, demi mencari sesuap nasi, dan kalau beruntung bisa buat nyicil rumah, motor, atau mobil. Tentu para pekerja kantoran ini berpakaian rapi, seperti halnya saya yang akan menghadiri rapat di salah satu sudut Sudirman.

Baru beberapa langkah setelah menginjakkan kaki di peron, jantung ini serasa berhenti berdetak, hati serasa lepas dari badan, jatuh, dan langsung masuk menembus bumi yang saya pijak. Di tengah keramaian orang berpakaian rapi dengan pandangan bersinar terang menapak masa depan yang cerah terbentang, dua sosok bocah terlihat menusuk pandangan.

Kedua bocah tersebut terlihat sama-sama tidak terurus, kulit, wajah, baju semua terlihat kotor dan kusam. Kira-kira keduanya seusia anak kelas 4 atau 5 SD. Si bocah pertama sedang tertidur dengan pulas. Meringkuk di atas lantai stasiun berpaving yang kasar, keras, dingin pula. Dia meringkuk di pinggir menghadap pagar, membelakangi orang-orang kantoran yang menunggu KRL. Seolah tidak ingin wajahnya yang kusam dan kotor mengganggu penglihatan orang-orang elit dibelakangnya.

Bocah kedua sepertinya temannya, sedang berdiri di dekat kepala si bocah yang tertidur tadi. Dia hanya berdiri berpegang pada jeruji pagar stasiun, sambil memandangi lalu lalang di depannya. Tatapan matanya kosong, seolah memandang keajaiban di depannya yang seolah tak mungkin dia raih. Jangankan untuk menjadi seperti mereka, untuk makan nanti siang pun dia tidak tahu dari mana.

Setelah beberapa saat, si bocah kedua merebahkan badannya, menyusul temannya terlelap di alam mimpi, berharap semoga keajaiban di depannya bisa dia rasakan, walau di alam mimpi. Secarik kain dia atur sekenanya di bawah kepalanya, sekedar mengurangi kerasnya lantai stasiun, sambil melupakan kerasnya hidup yang harus mereka hadapi.

Dan akhirnya mereka berdua tertidur, sama seperti tidurnya anak-anak lainnya. Hanya saja mereka di lantai stasiun nan keras dan dingin, sementara anak-anak lainnya di kamar nan empuk dan hangat. Hanya saja mereka di temani nyamuk yang berdengung, sementara anak-anak lainnya ditemani orang tuanya yang berdendang. Hanya saja mereka dinaungi langit nan luas, sementara anak-anak lainnya dinaungi atap plus selimut nan nyaman.

Betapa hamba ini kurang bersyukur, ya Allah, sungguh nikmat yang telah Engkau berikan takkan pernah bisa kuhitung, tapi hamba-Mu yang bodoh ini bisanya hanya meminta dan meminta tanpa bisa mensyukuri yang ada. Maafkanlah hamba-Mu ini ya Allah dan jadikan hamba-Mu ini hamba yang pandai bersyukur.